‎Hartanto Boechori: Gugat Akal Sehat Administrasi Peradilan

‎BOJONEGOROtimes.Id – Dalam praktik peradilan, publik kerap berhadapan dengan sikap administratif yang membingungkan, menyimpang dari asas Hukum dan asas keterbukaan. Salah satu contoh, terjadi di Pengadilan Agama (PA) Surabaya, kemarin, Jum’at 1 Agustus 2025.

‎KUASA SAH, TAPI DITOLAK

‎Awalnya petugas menolak memberikan salinan berkas perkara kepada pemohon yang membawa Surat Kuasa Khusus yang sah dari salah satu pihak perkara.

‎Alasan mereka, pemohon walaupun memegang Surat Kuasa, namun bukan pengacara (Advokat) para pihak perkara.

‎Awalnya saya menolong anggota saya, anggota Departemen Pusat Usaha Pers PJI yang digugat cerai istrinya.

‎Saya diberi Surat Kuasa Khusus yang substansinya sempit dan terbatas; ‘Khusus mewakili Pemberi Kuasa/Tergugat untuk meminta dari PA Surabaya, segala jenis berkas perkara perceraian atas gugatan istrinya’.

‎Di PA Surabaya, saya diarahkan ke loket informasi dan pengaduan.

‎Surat Kuasa asli dan berbagai dokumen pendukung saya serahkan dan saya sampaikan tujuan mengambil berkas perceraian.

‎Ternyata perkara telah diputus Verstek (tanpa kehadiran Tergugat).

‎Petugas masuk ke dalam ruang dengan membawa berkas saya, dan beberapa saat kemudian kembali menghadapi saya.

‎Saya ditanya hal yang saya nilai, ‘aneh’, “untuk apa?” Saya tanggapi dengan nada agak sinis, intinya itu hak Tergugat terkait permasalahan Hukumnya.

‎Dilanjutkan, “tidak bisa, karena bapak bukan pengacara para pihak perkara”.

‎Saya minta ditunjukkan aturan hukumnya, namun tak bisa menjawab.

‎Petugas itu masuk lagi agak lama. Ternyata meminta petunjuk ‘Bu Waka’, yang ditegaskan sebagai Wakil Ketua Pengadilan Agama Surabaya.

‎Saya diminta membuat surat pengajuan ‘untuk dipertimbangkan’. Saya minta kepastian dari ‘Bu Waka’ atau siapapun yang berkompeten, bahwa permintaan saya dipastikan akan diberikan, saya juga minta kepastian waktu.

‎Petugas itu masuk lagi, dan setelah itu saya ditemui Humas PA, Mustafa, di lobby.

‎Aneh lagi, saya diminta membuat surat pengajuan sebagai langkah ‘KIP’ (Keterbukaan Informasi Publik).

‎Saya perjelas lagi bahwa saya mewakili pihak Tergugat untuk mengambil salinan putusan, titik.

‎Kalau ditolak, saya minta alasan hukumnya. Akhirnya saya diberi salinan putusan yang saya minta.

‎Sebenarnya saya telah memprediksi dan bahkan ‘sudah tahu’ akan mendapatkan perlakuan demikian.

‎Namun untuk memastikan, saya sengaja ‘menabrak’. Walau saya awam, tetapi puluhan tahun saya membantu permasalahan Hukum masyarakat dan mempelajari Hukum secara otodidak.

‎Pemahaman Hukum saya, penolakan seperti itu tidak berdasar hukum, bahkan melanggar Hukum.

‎DASAR HUKUM JELAS DAN MASIH BERLAKU

‎Pasal 123 HIR (Herzien Inlandsch Reglement); “Jika pihak-pihak yang berperkara tidak datang menghadap sendiri, maka mereka boleh menyuruh orang lain dengan surat kuasa khusus untuk mewakilinya”.

‎Artinya, pihak yang bersengketa tidak wajib hadir sendiri dan dapat diwakili oleh siapapun, asal membawa Surat Kuasa Khusus yang sah, dan tidak harus Advokat.

‎Sebagai catatan, HIR (HIR Staatsblad 1941 No. 44) merupakan Aturan Hukum Acara Perdata dan Pidana, bagian dari Kitab Hukum Acara Perdata yang masih berlaku di wilayah Jawa dan Madura.

‎Dan sepemahaman saya, pasal 123 HIR tetap sah dan berlaku hingga kini, menjadi landasan utama kewenangan Kuasa Non Advokat dalam perkara perdata.

‎Selain itu Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 2 Tahun 1959 menyebutkan; “Salinan putusan hanya boleh diberikan kepada pihak-pihak yang berkepentingan atau kepada wakilnya yang sah”.

‎Ini memperjelas pengambilan salinan putusan dapat dilakukan oleh siapa saja yang diberi kuasa hukum secara sah.

‎Bukan hanya oleh pengacara resmi. Dan sepengetahuan saya, 2 dasar Hukum ini belum ada peraturan/aturan Hukum yang menganulir.

‎PENTINGNYA PEMBENAHAN INTERNAL

‎Fakta bahwa petugas loket pengadilan menolak permohonan pengambilan berkas dengan alasan yang bertentangan dengan dasar hukum yang sangat mendasar, mengindikasikan adanya kebijakan internal yang perlu ditinjau ulang.

‎Saya yakin, petugas loket hanya menjalankan perintah atasan. Maka itu, sorotan seyogyanya ditujukan pada struktur komando dan standar operasional di baliknya.

‎Pengadilan adalah lembaga publik, bukan institusi privat.

‎Penafsiran hukum bukan hak prerogatif pejabat administrasi, melainkan ranah wewenang yudisial yang mesti didasarkan pada norma hukum tertulis.

‎Bila ruang pelayanan hukum dalam peradilan dipersempit secara sepihak, akan menjauhkan masyarakat dari keadilan itu sendiri.

‎Hukum pun kehilangan roh utamanya sebagai pelindung dan pengayom rakyat.

‎Keadilan hak setiap warga negara, bukan milik sekelompok profesi atau golongan tertentu.

‎Pengadilan seyogyanya menjadi tempat perlindungan terakhir yang dapat diandalkan oleh rakyat kecil.

‎Bila hukum dan administrasi peradilan dijalankan tidak semestinya, maka yang tersisa hanyalah pagar-pagar birokrasi yang justru membatasi akses masyarakat terhadap keadilan.

‎Akhir kata, tulisan ini bukan semata kritik, tetapi ajakan untuk introspeksi dan pembenahan.

‎Saya percaya banyak aparatur pengadilan yang profesional, cerdas, dan terbuka terhadap koreksi.

‎Namun benang kusut dalam pelayanan hukum harus diluruskan sampai elemen terbawah, agar cita-cita reformasi hukum tak berhenti di atas kertas, dan masyarakat tak dipaksa tunduk pada kebijakan yang tak sejalan dengan hukum itu sendiri. (*)

‎Oleh: Hartanto Boechori – Wartawan Utama

‎Ketua Umum PJI (Persatuan Jurnalis Indonesia)

‎Disclaimer: Saya bukan ahli atau praktisi Hukum, bahkan bukan Sarjana Hukum. Karenanya, saya terbuka atas kritik dan koreksi dari pihak yang lebih berkompeten melalui hotline WA: 081330222442.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *