BOJONEGOROtimes.Id – Sengketa soal keaslian batik motif Obor Sewu kembali mencuat. Bambang Sutrisno Surosentiko, tokoh adat sekaligus generasi kelima penerus ajaran Samin Surosentiko, akhirnya buka suara.
Ia dengan tegas menyatakan bahwa batik Obor Sewu yang asli dan otentik hanya diproduksi oleh komunitas Sedulur Sikep Samin di Dusun Jepang, Desa/Kecamatan Margomulyo, Kabupaten Bojonegoro.
Pernyataan ini disampaikan menyusul maraknya promosi dan penjualan batik Obor Sewu oleh pihak-pihak yang tidak memiliki hak atas motif tersebut.
Beberapa akun media sosial bahkan secara aktif menjual batik bermotif serupa, padahal tidak memiliki izin resmi.
“Beberapa hari lalu saya ditanya oleh berbagai dinas dan perajin, apakah benar ada pengusaha lain yang juga memproduksi dan mempromosikan batik Obor Sewu. Sampai sekarang, tidak ada satu pun yang kami izinkan,” tegas Bambang, Jumat (11/07/2025).
Menurut Bambang, batik Obor Sewu bukan sekadar kain bermotif artistik.
Ia memuat nilai sejarah, filosofi, serta spiritualitas tinggi yang merupakan bagian dari ajaran luhur Samin.
Bagi komunitas Sedulur Sikep, batik ini merupakan simbol identitas dan perjuangan moral.
Bambang menambahkan bahwa hingga kini, hak produksi resmi batik Obor Sewu hanya dipegang oleh dirinya dan komunitasnya untuk kebutuhan internal, terutama pakaian dinas harian (PDH).
Tidak ada kerja sama atau lisensi dengan pihak luar, termasuk perajin maupun pengusaha batik dari daerah lain.
“Kami menjaga kemurnian dan makna batik ini. Jika semua orang bisa memproduksinya bebas, nilai sakral dan filosofisnya akan rusak. Belum lagi kecemburuan sosial yang bisa muncul di kalangan perajin lokal,” imbuhnya.
Bambang juga menyayangkan tindakan oknum yang memanfaatkan popularitas motif Obor Sewu demi keuntungan pribadi.
Padahal, Hak Kekayaan Intelektual (HaKI) atas motif ini telah didaftarkan secara resmi dan pelanggarannya dapat berujung pada sanksi hukum.
Ia pun mengajak masyarakat untuk lebih bijak dan jujur dalam memproduksi serta memasarkan karya budaya, agar warisan leluhur tidak hilang makna karena komersialisasi.
“Ini bukan hanya soal motif, tapi soal penghormatan terhadap sejarah, identitas, dan hak masyarakat adat,” pungkasnya. (*)