Tanah Perangkat Desa Diserobot, Kantor Kecamatan Bluluk Jadi Monumen Ketidakadilan

LAMONGAN – Dugaan praktik menyimpang mencuat dari balik bangunan Kantor Kecamatan Bluluk yang kini dibiarkan terbengkalai.

‎Proyek senilai miliaran rupiah ini diduga kuat menyimpan intrik, dengan mantan Camat Bluluk, Syam Teguh Wahono, disebut-sebut sebagai tokoh utama di baliknya.

‎Bangunan senilai sekitar Rp 1,3 miliar itu berdiri di atas lahan sawah ganjaran milik perangkat desa tanpa ada pembayaran ganti rugi sepeser pun.

‎Situasi ini menimbulkan tanda tanya besar: bagaimana bisa proyek pemerintah dibangun tanpa melalui prosedur sah dan adil terhadap pemilik lahan?

‎Permasalahan bermula saat Syam Teguh, yang kala itu menjabat camat, diduga memaksa Pemerintah Desa (Pemdes) Bluluk menggunakan Tanah Kas Desa (TKD) untuk proyek tersebut.

‎Ironisnya, tidak ada musyawarah desa yang digelar untuk memutuskan penggunaan lahan tersebut. Alasannya klise: proyek pemerintah harus segera berjalan karena anggaran telah cair.

‎Namun, Supriadi, seorang warga dari Kecamatan Sugio, berani mengungkap kasus ini ke publik.

‎Ia melaporkan dugaan pelanggaran tersebut ke Kejaksaan Negeri Lamongan, membuka babak baru dalam upaya menuntut keadilan bagi perangkat desa yang dirugikan.

‎”Kami menduga Camat saat itu memaksa desa menyediakan lahan karena anggaran sudah diturunkan, padahal itu tanah milik Sekdes dan Kasun yang seharusnya diberi ganti rugi,” ujar Supriadi, Senin (19/5/2025).

‎Aturan mengenai pengadaan tanah untuk proyek pemerintah sebenarnya tegas: ganti rugi harus dilakukan maksimal enam bulan setelah lahan digunakan.

‎Namun kenyataannya, hingga tujuh tahun berlalu, para pemilik lahan tak kunjung menerima hak mereka.

‎Sekretaris Desa (Sekdes) dan Kepala Dusun (Kasun) Bluluk yang menjadi korban, hanya bisa pasrah melihat hak atas tanah mereka lenyap tanpa kejelasan.

‎Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) dari Inspektorat Lamongan yang diklaim pernah disampaikan ke Kejaksaan, hanya menyoroti kondisi fisik bangunan yang mangkrak.

‎Polres Lamongan pun dianggap tidak menggali lebih dalam, karena fokusnya hanya pada konstruksi, bukan pada perampasan lahan yang menjadi akar persoalan.

‎”Yang kami soroti adalah lahannya. Tanah milik Sekdes dan Kasun diambil tanpa musyawarah, tanpa ganti rugi. Ini jelas penyalahgunaan wewenang,” tegas Supriadi.

‎Tak hanya itu, diduga proses perizinan pembangunan pun tidak pernah dikeluarkan secara resmi.

‎Namun bangunan tetap berdiri, menyimpan kisah kelam anggaran yang tidak jelas alurnya.

‎Upaya appraisal yang pernah dilakukan juga berhenti di tengah jalan, lagi-lagi dengan alasan klasik: tak ada dana.

‎”Kalau dibiarkan seperti ini, tim appraisal harus turun lagi, artinya pemborosan anggaran akan terus terjadi. Negara dirugikan, perangkat desa kehilangan hak, dan ini dibiarkan begitu saja,” lanjutnya.

‎Supriadi menegaskan komitmennya untuk terus memperjuangkan keadilan bagi perangkat desa yang merasa haknya dirampas.

‎”Saya akan terus memperjuangkan hak-hak Sekdes dan Kasun yang lahannya telah digunakan untuk membangun kantor kecamatan tanpa ganti rugi. Ini bukan hanya soal uang, tapi soal keadilan dan akuntabilitas,” pungkasnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *