Gugatan Mantan Kades Jubel Kidul Ditolak, Sertifikat 1987 Dinyatakan Sah oleh PN Lamongan

LAMONGAN – Pengadilan Negeri (PN) Lamongan secara resmi menolak seluruh gugatan perdata yang diajukan mantan Kepala Desa Jubel Kidul, Nuril Huda, dan istrinya, Suriati, dalam perkara sengketa tanah yang menyeret tiga pihak, termasuk Kantor Pertanahan Kabupaten Lamongan.

‎Putusan tersebut dibacakan oleh Ketua Majelis Hakim Yogi Rachmawan, S.H., M.H., pada 22 Mei 2025 dalam sidang perkara Nomor 43/Pdt.G/2024/PN Lmg.

Majelis hakim menegaskan bahwa Sertifikat Hak Milik (SHM) Nomor 74 atas nama Rusmi, yang diterbitkan pada 1987, adalah sah dan memiliki kekuatan hukum tetap.

‎Sebaliknya, SHM Nomor 2713 atas nama Suriati beserta enam bidang tanah hasil pecahannya dinyatakan tidak sah secara hukum.

Majelis hakim menyatakan peralihan hak atas tanah tersebut tidak sah karena proses jual beli dilakukan secara bawah tangan dan tidak melibatkan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), serta dilakukan oleh pihak yang tidak berwenang secara hukum.

‎Transaksi ilegal itu dilakukan pada 16 Oktober 2015, antara Nuril Huda selaku pembeli dan Ramin, warga Desa Jubel Kidul, sebagai penjual.

Sayangnya, Ramin bukan pemilik sah tanah yang menjadi objek jual beli, dan tidak ada akta resmi dari PPAT yang menyertainya.

‎Nuril Huda dan Suriati menggugat Rusmi atas kepemilikan tanah pekarangan di Desa Jubel Kidul, Kecamatan Sugio, Kabupaten Lamongan.

Dalam perkara ini, Ramin bertindak sebagai Turut Tergugat I, sementara Badan Pertanahan Nasional (BPN) Lamongan menjadi Turut Tergugat II.

‎Perselisihan bermula dari klaim ganda atas sebidang tanah yang sama. Baik penggugat maupun tergugat memegang SHM atas lokasi tersebut.

Namun, SHM milik Rusmi dengan nomor 74 terbit jauh lebih awal pada 1987, sedangkan milik Suriati baru terbit pada 2021.

‎Hakim menyatakan bahwa penerbitan SHM milik Suriati cacat hukum karena bersumber dari transaksi ilegal yang tidak memenuhi ketentuan hukum formil, sebagaimana diatur dalam Pasal 37 ayat (1) PP Nomor 24 Tahun 1997.

Aturan tersebut mewajibkan setiap transaksi peralihan hak atas tanah dibuat dalam bentuk akta resmi di hadapan PPAT agar dapat didaftarkan ke BPN.

‎“Peralihan hak atas tanah yang tidak dilakukan di hadapan PPAT tidak bisa dijadikan dasar hukum penerbitan sertifikat,” tegas Hakim Yogi dalam amar putusannya.

‎Lebih lanjut, majelis hakim mengacu pada sejumlah yurisprudensi Mahkamah Agung, termasuk Putusan Nomor 976 K/Pdt/2015, 290 K/Pdt/2016, dan 143 PK/Pdt/2016, yang menegaskan bahwa apabila terdapat sertifikat ganda atas objek yang sama, maka sertifikat yang lebih dahulu terbit memiliki kekuatan hukum yang lebih tinggi.

‎Kuasa hukum Rusmi, Subari, S.Sy., didampingi Slamet Haryoko, S.H., menyambut gembira putusan tersebut. Ia menyebut ini sebagai titik terang dari perjuangan panjang kliennya dalam memperjuangkan hak atas tanah miliknya yang sempat disengketakan.

‎“Ini hasil dari perjuangan dan doa panjang klien kami. Jika tidak ada upaya banding dalam 14 hari ke depan, maka putusan ini akan berkekuatan hukum tetap atau inkracht,” ujar Subari, Selasa (3/6/2025).

‎Ia menegaskan bahwa kasus ini menjadi pengingat bahwa dalam urusan pertanahan, sertifikat lama yang sah memiliki kekuatan hukum yang lebih kuat daripada sertifikat baru yang terbit belakangan, apalagi jika penerbitannya cacat prosedur.

‎Tak hanya menggugurkan klaim kepemilikan dari penggugat, putusan ini juga menegaskan bahwa proses pendaftaran tanah yang difasilitasi BPN tidak bisa dijadikan dasar sah jika sumbernya berasal dari peralihan hak yang tidak sah.

Dengan demikian, BPN Lamongan sebagai Turut Tergugat II dinyatakan tidak dapat mengesampingkan sertifikat yang lebih dahulu dan sah secara hukum.

‎Perkara ini telah berlangsung sejak 26 November 2024 hingga 22 Mei 2025, dan kini tinggal menunggu apakah pihak penggugat akan mengajukan upaya hukum lanjutan atau menerima putusan tersebut. (*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *