TUBAN – Gelombang dugaan pelanggaran etik polisi kembali menghangat. Muhari, seorang petani dari Desa Sidorejo, Kecamatan Kenduruan, Kabupaten Tuban, resmi mengambil langkah hukum dengan melaporkan sejumlah anggota Unit Resmob Jatanras Polres Tuban ke Propam Polda Jawa Timur.
Ia menilai anaknya menjadi korban penangkapan tanpa prosedur, kekerasan fisik, hingga penyiksaan selama berminggu-minggu.
Laporan itu tidak muncul tiba-tiba. Menurut Muhari, luka fisik dan trauma mendalam yang dialami putranya adalah alasan utama ia menempuh jalur hukum.
Kepada media, Rabu (26/11/2025), ia memperlihatkan surat pengaduan serta kronologi rinci yang ia sebut sebagai perlakuan tidak manusiawi.
Kronologi sebagai berikut:
Dalam laporan tertanggal 4 November 2025, Muhari menuturkan, sekitar pukul 22.00–23.00 WIB, delapan pria datang dengan dua mobil ke rumahnya.
Mereka mengaku sebagai polisi Buser/Resmob Polres Tuban, namun diklaim tidak menunjukkan identitas maupun surat perintah penangkapan.
Tanpa penjelasan, putra Muhari langsung diborgol dan dibawa dengan tuduhan pencurian semangka.
Standar prosedur KUHAP, yang seharusnya menjadi dasar setiap penindakan, diduga tidak dijalankan.
Dalam perjalanan menuju Polsek Kenduruan, korban mengaku matanya ditutup lakban dan mengalami pukulan bertubi-tubi.
Setibanya di kantor polisi, kekerasan diduga meningkat: dipukul dengan kayu rotan, disundut rokok, disiram hingga nyaris tidak bisa bernapas, ditendang, bahkan kakinya dihantam batu hingga memar dan lecet.
Penyiksaan itu, menurut laporan, berjalan hingga hampir subuh. Sekitar pukul 02.00 WIB korban dipindahkan ke Unit Jatanras Polres Tuban dalam kondisi babak belur dan masih diborgol.
Melihat kondisi korban kian memburuk, oknum polisi kemudian membawa korban ke rumah sakit.
Namun langkah berikutnya memunculkan pertanyaan besar: korban tidak dipulangkan, melainkan dibawa ke sebuah basecamp Resmob dan tinggal di sana hampir tiga minggu.
Alasannya, menurut Muhari, agar luka korban sembuh sebelum dikembalikan kepada keluarga.
Dalam laporan, ia mengutip salah satu oknum berkata:
“Kamu di sini dulu, sembuhkan luka. Nanti kalau sudah pulang bisa kerja sama kita”.
Korban akhirnya dilepas pada 2 Oktober 2025 dengan kondisi penuh bekas luka bakar dan memar, disertai trauma psikologis mendalam.
Tidak berhenti pada laporan, Muhari bersama Ketua RT kemudian mencari seseorang berinisial San, yang disebut sebagai pelaku pencurian.
Namun pertemuan itu justru membalik keadaan.
San dikabarkan mengakui anak Muhari tidak terlibat sama sekali, bahkan namanya hanya dicatut akibat dendam pribadi.
Pernyataan ini menjadi pukulan telak terhadap dugaan profesionalitas aparat yang menangani perkara tersebut.
Dalam aduannya, Muhari memohon agar Kapolda Jawa Timur menindak tegas oknum yang diduga terlibat.
“Kami rakyat kecil cuma ingin keadilan. Polisi harusnya melindungi, bukan menakuti,” ujar Muhari.
Kasus ini menjadi sorotan tajam terkait dugaan abuse of power, kekerasan dalam penyidikan, hingga kemungkinan rekayasa kasus.
Praktik seperti itu bukan hanya merusak aturan hukum, tetapi juga menggerus kepercayaan publik terhadap institusi kepolisian.
Redaksi masih berupaya menghubungi Polres Tuban dan Polda Jatim untuk mendapatkan klarifikasi resmi sebagai bentuk keberimbangan pemberitaan. (*)














Bojonegorotimes.id adalah media online berbasis di Bojonegoro, serta fokus pada pemberitaan di wilayah Bojonegoro dan sekitarnya. Sejak awal,