Masjid Samin Bojonegoro Memantik Perdebatan, Kepercayaan Adat Kembali Disorot

BOJONEGOROtimes.Id – Kontroversi perubahan nama Masjid An-Nahdha menjadi Samin Baitul Muttaqin tidak semata-mata memantik perdebatan soal simbol.

‎Polemik ini justru memperlihatkan kembali persoalan mendasar yang selama ini kurang mendapat ruang: bagaimana negara memperlakukan kelompok kepercayaan di luar 6 agama resmi.

‎Isu itu mengemuka dalam forum Ngaji (Ngobrol Asyik Jengker Demokrasi) pada Rabu, 17 Desember 2025.

‎Dalam diskusi tersebut, seorang peserta yang enggan disebutkan namanya menyampaikan kegelisahan mendalam mengenai posisi masyarakat adat, khususnya komunitas Samin, di tengah kebijakan negara yang cenderung menuntut keseragaman identitas.

‎Ia mencontohkan pengalaman warga Samin di Rembang yang pernah kesulitan mengurus berbagai layanan publik, mulai akta kelahiran, SIM, hingga sertifikat tanah.

‎Permasalahan berawal dari penolakan mereka mencantumkan kolom agama di KTP dan Kartu Keluarga.

‎Karena keyakinan mereka tidak termasuk dalam kelompok agama resmi negara.

‎Bagi komunitas Samin, ajaran yang diwariskan turun-temurun bukan sekadar aliran kepercayaan, melainkan agama adat, sistem nilai yang mengatur hidup dan perilaku sosial mereka.

‎Namun pilihan ini sering berbenturan dengan mekanisme birokrasi yang mengharuskan warga mengikuti format formal negara.

‎“Kalau mereka sudah menyatakan bahwa keyakinannya adalah agama adat dan bukan Islam, maka itu harus dihormati,” ujar peserta diskusi tersebut.

‎Ia mengingatkan bahwa ketika identitas Samin dipadankan kembali dengan simbol keagamaan mayoritas, ada risiko mereka dipaksa masuk dalam kategori yang sejak awal mereka tolak.

‎Menurutnya, menghormati Samin bukan dengan menyerap mereka ke dalam identitas dominan.

‎Melainkan memberi ruang hukum dan sosial agar mereka tetap mendapatkan hak sebagai warga negara tanpa mengubah keyakinan yang mereka pegang.

‎Komunitas Samin tidak menuntut status agama resmi.

‎Mereka hanya meminta diakui sebagaimana mereka mendefinisikan diri sendiri, tanpa kehilangan hak administratif.

‎Dalam forum itu juga disampaikan bahwa masyarakat Samin patut diapresiasi.

‎Di tengah persoalan integritas di ruang publik, komunitas ini justru dikenal konsisten menjaga kejujuran, kesederhanaan, serta anti-korupsi nilai-nilai yang telah bertahan lintas generasi.

‎Bambang Sutrisno Surosentiko, keturunan kelima Samin Surosentiko, pernah menjelaskan lima pitutur inti Sedulur Sikep:

‎- Berlaku jujur, sabar, tidak serakah

‎- Tidak iri dan tidak mengambil hak orang lain

‎- Tidak membeda-bedakan sesama manusia

‎- Berbicara dengan etika

‎- Memiliki empati

‎Nilai tersebut dipandang universal, selaras dengan ajaran kebaikan dalam agama mana pun.

‎Karena itu, perdebatan soal nama masjid dinilai tidak cukup diselesaikan pada level simbol.

‎Yang lebih penting adalah menjawab pertanyaan mendasar:

‎Apakah negara dan ruang publik kita sudah cukup adil bagi mereka yang menolak diseragamkan?

‎Dan apakah demokrasi mampu menjamin perlindungan bagi keyakinan di luar arus utama?

‎Pada akhirnya, penghormatan bukan tentang memaksa, tetapi memberi ruang.

‎Komunitas Samin telah menyatakan identitas mereka dengan jelas.

‎Tugas negara dan masyarakat adalah memastikan sikap itu tidak menghilangkan akses mereka terhadap hak dasar sebagai manusia dan warga negara. (*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *