LAMONGAN – Ketika malam menyelimuti kawasan Lamongan dari Talun hingga Babat, gelap gulita menjadi sahabat setia para pengendara.
Senin malam (21/7/2025), bukan hanya kegelapan yang harus dihadapi, tapi juga jalan rusak parah penuh lubang, sebuah kombinasi maut yang membuat jalur ini layak disebut medan uji nyali.
Jalan provinsi yang seharusnya menjadi urat nadi penghubung justru berubah menjadi mimpi buruk bagi ribuan pengguna jalan.
Bukan sehari dua hari,kondisi ini sudah berlangsung lama.
Ironisnya, tak ada tanda-tanda keseriusan dari pemerintah daerah maupun provinsi untuk turun tangan memperbaiki.
Lampu Penerangan Jalan Umum (PJU) di sepanjang Talun, Kebonsari, Paji hingga Babat lebih sering mati daripada menyala.
“Mungkin lampu-lampu itu padam karena ikut malas seperti pejabatnya.” kata salahsatu warga dengan nada sindiran.
Pemerintah seakan kehilangan kepekaan. Dinas Perhubungan dan Dinas Pekerjaan Umum hanya diam membisu, seolah tak punya mata untuk melihat, telinga untuk mendengar, atau hati untuk peduli.
Lebih menyakitkan lagi, suara dari para wakil rakyat, baik di DPRD Lamongan maupun DPRD Provinsi Jawa Timur, juga tak terdengar.
Bupati pun lenyap dari sorotan, apalagi Gubernur.
Yang ada hanya rakyat, berjibaku di jalan rusak, setiap pagi dan malam, tanpa tahu sampai kapan harus bertahan.
Warga pun mulai putus asa. “Kami seperti ditinggalkan. Kalau begini terus, lebih baik kami lapor ke pusat. Pejabat di sini cuma sibuk cari panggung politik, bukan kerja,” keluh warga tersebut.
Tak pelak, perbandingan muncul.
Di kabupaten tetangga, Bojonegoro, jalan-jalan terlihat mulus hingga pelosok desa.
Lampu jalan menyala terang.
Pemerintahnya responsif. Pertanyaannya: jika Bojonegoro bisa, mengapa Lamongan tidak?
Rasa kecewa makin membuncah karena masyarakat selama ini taat membayar pajak kendaraan, yang idealnya dikembalikan dalam bentuk pelayanan, bukan disia-siakan seperti ini.
Sudah saatnya instansi terkait berhenti main aman.
Rakyat tidak butuh kata-kata manis atau seremoni kosong, yang dibutuhkan adalah aksi nyata.
Karena jika terus seperti ini, bukan tidak mungkin kemarahan rakyat akan berubah menjadi gugatan.
Dan ketika rakyat sudah muak, tak ada meja, tak ada kursi, dan tak ada jabatan yang bisa menyelamatkan. (*)