‎Sunan Sendang Duwur, Jejak Dakwah dan Akulturasi di Pesisir Lamongan

LAMONGAN – Di pesisir utara Kabupaten Lamongan, Jawa Timur, terhampar jejak dakwah Islam yang unik dan penuh akulturasi. Jejak itu tertoreh melalui sosok Sunan Sendang Duwur, seorang waliyullah yang hidup pada abad ke-16 Masehi.

‎Lebih dari sekadar penyebar agama, Sunan Sendang Duwur meninggalkan warisan budaya yang kaya, tercermin dalam arsitektur masjid dan tradisi masyarakat setempat.

‎Nama asli Sunan Sendang Duwur adalah Raden Noer Rahmat. Beliau diperkirakan lahir pada tahun 1520 Masehi di Desa Sedayulawas, Kecamatan Brondong.

‎Kiprahnya dalam menyebarkan ajaran Islam di wilayah Sendang Duwur, Kecamatan Paciran, tidak lepas dari pendekatan kultural yang santun dan mudah diterima masyarakat.

‎Sunan Sendang Duwur dikenal sebagai sosok yang tulus dan jujur dalam berinteraksi dengan siapapun.

‎Sunan Sendang Duwur memilih jalur dakwah yang damai dan inklusif. Beliau mengakomodasi budaya dan tradisi lokal yang telah ada, kemudian menginternalisasikannya dengan nilai-nilai Islam.

‎Salah satu ajarannya yang terkenal adalah “mlakuho dalan kang benar, ilingo wong kang sak burimu” (berjalanlah di jalan yang benar, dan ingatlah pada orang yang ada di belakangmu).

‎Ajaran ini hingga kini masih relevan dan terinternalisasi dalam tradisi masyarakat Sendang Duwur.

‎Wujud akulturasi budaya dalam dakwah Sunan Sendang Duwur terlihat jelas pada Masjid Sendang Duwur.

‎Masjid kuno ini diperkirakan didirikan pada tahun 1561 Masehi, sebagaimana tertulis dalam suryasengkala “gunaning seliro tirti hayu“.

‎Arsitektur masjid ini memadukan unsur budaya Jawa Hindu dengan gaya Islam. Bentuk atapnya yang bertumpang tiga menyerupai bangunan Meru dalam arsitektur Hindu.

‎Mihrab masjid berbentuk lengkungan kalamakara yang juga merupakan elemen arsitektur candi.

Bahkan, mimbar masjid berukiran Jepara dengan motif flora dan bunga teratai menunjukkan perpaduan estetika yang harmonis.

‎Selain masjid, tradisi selametan dan sedekahan yang diisi dengan pembacaan tahlil dan bancaan (berbagi makanan) juga menjadi contoh bagaimana ajaran Islam berakulturasi dengan tradisi lokal di Sendang Duwur.

‎Sunan Sendang Duwur wafat dan dimakamkan di Sendang Duwur.

‎Kompleks makam beliau hingga kini ramai dikunjungi peziarah yang ingin mendoakan dan mengenang jasa-jasanya dalam menyebarkan Islam.

‎Selain makam, Masjid Sendang Duwur tetap berdiri kokoh sebagai bukti sejarah dan akulturasi budaya.

‎Peninggalan lain yang memiliki nilai sejarah dan spiritual adalah Sumur Giling dan Sumur Paidon.

‎Konon, Sumur Giling muncul atas munajat Sunan Sendang Duwur saat wilayah tersebut dilanda kekeringan. Air dari sumur ini dipercaya memiliki keberkahan.

‎Sementara itu, Sumur Paidon juga memiliki nilai penting dalam tradisi dan kepercayaan masyarakat setempat.

‎Desa Sendang Duwur kini dikenal sebagai desa wisata religi dan cagar budaya nasional.

‎Warisan Sunan Sendang Duwur tidak hanya menjadi tujuan ziarah, tetapi juga menjadi daya tarik bagi wisatawan yang ingin menyaksikan harmoni antara agama dan budaya. (Az)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *