LAMONGAN – Program unggulan Pemkab Lamongan bertajuk “Jalan Mantap dan Alus” (Jamula) kini terancam menjadi bahan olok-olok publik.
Alih-alih membawa solusi, fakta terbaru dari Badan Pusat Statistik (BPS) Jawa Timur justru mengungkap kenyataan pahit: kemantapan jalan kabupaten di Lamongan hanya 55,14 persen, sisanya sebanyak 44,86 persen rusak ringan hingga rusak berat.
Angka ini menyentuh titik rawan, nyaris menyentuh garis merah 50 persen.
Bukannya melaju, kondisi infrastruktur jalan di Bumi Soto justru tertatih di antara kabupaten berlabel terburuk di Jatim, bersanding dengan Sampang (41,46%), Pacitan (58,25%), dan Pamekasan (58,35%).
Padahal, anggaran raksasa Rp360 miliar telah digelontorkan untuk proyek Jamula.
Dana itu bersumber dari pinjaman Bank Jatim dan APBD.
Tahap awal saja menyedot Rp200 miliar untuk 41 ruas jalan, namun hasilnya jauh dari kata memuaskan.
Warga pun mempertanyakan: ke mana larinya dana jumbo tersebut?
Bandingkan dengan Kota Surabaya yang nyaris tanpa jalan rusak (kemantapan 99,56%), atau Madiun (98,19%), Kota Malang, dan Sidoarjo yang berada di kisaran 95 persen ke atas.
Kesenjangan kualitas jalan Lamongan kian mencolok, menandai adanya masalah serius dalam manajemen proyek infrastruktur.
Kepala BPS Jatim, Zulkipli, menyatakan bahwa rerata kemantapan jalan kabupaten/kota di Jatim pada 2024 berada di angka 78,69 persen.
“Lamongan jauh di bawah rata-rata. Ini sangat memprihatinkan,” ujarnya tegas, Rabu (2/7/2025).
Ironisnya, meski jalan amburadul, pihak Pemkab bersikukuh bahwa anggaran tidak dipotong.
Sekda Lamongan, Mohammad Nalikan, bahkan menyebut tidak ada pengurangan anggaran.
“Anggaran tidak berkurang, hanya disesuaikan agar lebih efisien,” ucapnya.
Namun pernyataan ini bertolak belakang dengan keluhan warga yang tiap hari harus berjibaku dengan lubang, jalan bergelombang, hingga ancaman kecelakaan.
Beberapa ruas jalan bahkan sudah bertahun-tahun rusak tanpa perbaikan.
Publik pun mulai mempertanyakan: apakah Jamula hanya slogan tanpa bukti? Jika Pemkab tak segera mengevaluasi dan membenahi, program ambisius ini akan berubah menjadi simbol kegagalan, membebani APBD dan menggerus kepercayaan masyarakat. (*)