BOJONEGOROtimes.Id – Desa Sudah di Kecamatan Malo, Bojonegoro, baru saja merayakan usianya yang ke-667 tahun melalui Festival Desa yang berlangsung dari Sabtu (5/7/2025) hingga Senin (7/7/2025).
Festival ini tak hanya menjadi ajang perayaan, tetapi juga mengungkap fakta-fakta sejarah menakjubkan yang menempatkan Desa Sudah sebagai salah satu desa tertua dengan jejak peradaban yang kaya di tepi Bengawan Solo.
Puncak pengungkapan sejarah Desa Sudah terjadi dalam Sarasehan Budaya pada Minggu (6/7/2025) malam di Balai Desa Sudah.
Acara ini merupakan kolaborasi apik antara Pemerintah Provinsi Jawa Timur, Pemerintah Kabupaten Bojonegoro, dan Pemerintah Desa Sudah.
Kepala Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (PMD) Kabupaten Bojonegoro, Machmudin, menyambut baik gelaran Festival Desa ini.
Ia menyoroti kemiripan nama desa di Bojonegoro, seperti Desa Dukoh Kidul di Kecamatan Ngasem dan Desa Dukoh Lor di Kecamatan Malo, yang mungkin memiliki keterkaitan sejarah.
Machmudin juga mendorong desa-desa lain di Bojonegoro, terutama yang memiliki lembaga adat desa dan berada di sekitar Bengawan Solo, untuk menggali potensi lokal dan sejarah mereka.
Kepala Desa Sudah, Agus Muklison, menjelaskan bahwa festival ini menjadi penanda usia Desa Sudah yang ke-667 tahun.
Berbagai acara budaya turut memeriahkan peringatan ini, termasuk bazar UMKM, Kirab Hadegringgit Simathani Ri Sudah, dan pagelaran Wayang dengan lakon Semar Bangun Desa.
Dwi Cahyono, seorang arkeolog dari Universitas Negeri Malang yang telah banyak meneliti daerah aliran sungai (DAS) Bengawan Solo, menjadi narasumber utama dalam Sarasehan Budaya.
Ia mengungkapkan bahwa usia 667 tahun Desa Sudah didasarkan pada Prasasti Canggu yang dibuat pada tahun 1358 Masehi pada masa kepemimpinan Raja Hayam Wuruk di Majapahit.
”Di sepanjang DAS Bengawan Solo, ada 44 desa tambangan yang disebut Prasasti Canggu. Desa Sudah salah satunya,” terang Dwi.
Lokasi Desa Sudah yang berada di pinggir Bengawan Solo dengan bentuk berkelok-kelok, menurutnya, adalah lokasi ideal untuk permukiman.
Dwi Cahyono memaparkan berbagai fakta sejarah yang mendukung klaim usia Desa Sudah.
Penemuan pecahan gerabah kuno, situs Tameng Jati, tiga sumur kuno, serta struktur tanah Desa Sudah menjadi bukti kuat kesejarahannya.
Lebih lanjut, Dwi menjelaskan bahwa Desa Sudah merupakan salah satu desa perdikkan, sebuah anugerah dari Raja Hayam Wuruk atas jasa-jasanya, salah satunya dalam menyediakan fasilitas publik berupa tambangan untuk penyeberangan sungai.
Istilah “Sudah” sendiri, menurut Dwi, berasal dari kata Sansekerta “suddha” yang berarti suci, tenang, paripurna, dan juga bermakna terang.
Hal ini mengindikasikan kemungkinan besar adanya tempat suci di Desa Sudah pada masa lampau, semacam candi desa untuk peribadatan, meskipun saat ini belum ditemukan secara pasti.
Sebagai tanah perdikkan, Desa Sudah di era Majapahit telah memiliki otonomi ekonomi yang ditopang oleh pertanian yang maju, budaya maritim sungai, hingga adanya kerajinan rakyat.
”Boleh jadi, gerabah kuno yang kami temukan diproduksi warga lokal pada masa lalu. Apalagi, di Malo hingga kini juga ada produksi gerabah,” tegas Dwi Cahyono, menunjukkan kesinambungan tradisi lokal.
Festival Desa Sudah ini tidak hanya merayakan masa lalu yang gemilang, tetapi juga menjadi momentum penting untuk menggali dan melestarikan kekayaan sejarah dan potensi lokal Desa Sudah di masa depan. (Az)