LAMONGAN – Dunia pendidikan kembali menunjukkan sisi kelamnya. Di tengah tekanan ekonomi yang kian menghimpit, siswa SMP Negeri 3 Lamongan justru harus kehilangan hak mereka atas dana Program Indonesia Pintar (PIP).
Orang tua murid mempertanyakan kebijakan sekolah yang meminta dana PIP digunakan untuk menutupi biaya tahunan serta iuran lainnya.
Padahal, bantuan senilai Rp 750 ribu per siswa ini seharusnya diterima langsung oleh siswa yang berhak, guna menunjang kebutuhan belajar mereka, bukan untuk membiayai operasional sekolah.
Salah satu wali murid mengungkap fakta mengejutkan. Dana PIP sebesar Rp 750 Ribu yang diterima anaknya langsung diminta kembali oleh pihak sekolah.
Alasannya? Menurut pihak SMP Negeri 3 Lamongan, dana tersebut tidak cukup untuk menutupi biaya sekolah.
“Uang Rp 750 Ribu itu langsung diminta sekolah. Katanya buat biaya operasional, karena biaya sekolah tiap tahun Rp 1,8 juta,” ujar salah satu wali murid, yang meminta identitasnya dirahasiakan.
Tak berhenti di situ, ternyata selain biaya tahunan, siswa juga “diwajibkan” memberikan sumbangan ke sekolah sebesar Rp 2,1 juta.
Praktik ini memunculkan dugaan adanya pungutan liar berkedok sumbangan sukarela.
Mirisnya, dugaan ini seolah direstui oleh pucuk pimpinan sekolah, yakni Kepala SMP Negeri 3 Lamongan, Kastur.
Padahal, sekolah ini tercatat menerima Dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) pada tahun 2024 sebesar Rp 477.440.000 untuk 746 siswa.
Artinya, setiap siswa mendapat subsidi sekitar Rp 640 ribu per tahun dari negara. Lalu, ke mana larinya dana BOS tersebut ?
Sesuai data yang berhasil dihimpun awak media, dana BOS tersebut digunakan untuk penerimaan peserta didik baru Rp 5.876.500, kegiatan Pembelajaran dan Bermain Rp 65.348.000 serta evaluasi dan asesmen Rp 70.084.600.
Kemudian untuk administrasi satuan pendidikan senilai Rp 79.744.000, pengembangan profesi guru Rp 3.960.000, serta layanan daya dan jasa Rp 47.767.400.
Serta pemeliharaan sarana dan prasarana sebesar Rp 90.225.700, multimedia Pembelajaran Rp 2.500.000 serta honorarium Rp 111.690.000.
Saat dikonfirmasi, Kepala SMP Negeri 3 Lamongan, Kastur tak membantah hal itu.
Ia menyatakan bahwa dana PIP diambil langsung oleh orang tua, namun digunakan untuk membayar tunggakan yang ada, seperti uang kegiatan tahunan sebesar Rp 1,8 juta dan sumbangan pembangunan (uang gedung) senilai Rp 2,1 juta.
”Tapi tidak semua harus bayar penuh. Ada yang 70 persen, 50 persen, bahkan ada yang gratis tergantung hasil survei ekonomi keluarga,” ujar Kastur dengan nada terbata-bata, mengaku masih dalam masa terapi.
Pernyataan tersebut justru menimbulkan pertanyaan lanjutan.
Jika sekolah sudah menerima dana BOS sebesar Rp 477 juta lebih pada tahun 2024, mengapa masih membebani siswa dengan pungutan tahunan dan bahkan menarik dana PIP?
Salah satu staf SMP Negeri 3 Lamongan, Santo, mengatakan bahwa BOS belum mampu mencakup seluruh kebutuhan operasional.
”Ada kegiatan pendamping dan kegiatan tahunan yang tidak bisa dibiayai oleh BOS. Jadi siswa tetap diminta membayar uang kegiatan tahunan,” ungkapnya.
Lebih lanjut, Santo menambahkan bahwa siswa dari keluarga tidak mampu bisa mengajukan keringanan dengan menyertakan Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM) dari desa.
Perlu diketahui bersama bahwa siswa yang menerima PIP itu sudah bisa dikategorikan tidak mampu.
Karena tentunya untuk pengajuan DTKS (saat ini proses DTSEN) harus menggunakan SKTM yang ditandatangani oleh Kepala Desa tempat tinggal siswa.
Namun pernyataan ini tampak bertolak belakang dengan realita di lapangan.
Sebab, sejumlah wali murid menyebut, tanpa membayar uang tahunan, dana PIP tidak bisa dibawa pulang.
Bahkan jika siswa sudah membayar penuh pun, uang PIP tetap diminta oleh pihak sekolah..
Apalagi, Peraturan Menteri Pendidikan dan Manajemen terbaik di sekolah terletak pada sosok kepala sekolah.
Kepala sekolah berperan penting sebagai pemimpin dan manajer yang bertanggung jawab atas pengelolaan sekolah secara keseluruhan.
Secara terpisah, Kasi Pendidikan SMP Dinas Pendidikan Kabupaten Lamongan, Nunggal Isbandi, justru menyebut hal tersebut sah dan sesuai prosedur.
Bahkan, menurutnya, praktik tersebut sudah mendapat lampu hijau dari Bupati Lamongan, dibuktikan dengan terbitnya SK Rekomendasi Bupati yang diklaim telah dibagikan ke seluruh SMP se-Kabupaten Lamongan.
“Kalau sekolah meminta PIP itu bukan tanpa dasar. Ada rapat komite sekolah dengan wali murid. Bahkan SK Rekomendasi Bupati juga ada,” ujar Nunggal.
PIP yang sejatinya diberikan pemerintah untuk membantu anak-anak dari keluarga miskin agar tetap bisa bersekolah, justru diarahkan oleh pihak sekolah untuk menutup tunggakan iuran gedung dan iuran bulanan.
Nunggal tidak membantah hal ini. Ia menyebut, sekolah “berhak” meminta uang PIP jika siswa menunggak, apalagi jika sebelumnya sudah ada kesepakatan dengan komite.
”Pak/Bu, anaknya kan dapat PIP Rp700 ribu atau Rp350 ribu. Kalau siswa punya tunggakan, apa salah kalau PIP itu diminta untuk menutup tunggakan?” kata Nunggal, menirukan gaya komunikasi sekolah ke wali murid.
Namun, ia enggan menjawab gamblang saat disinggung praktik penarikan PIP yang dilakukan langsung ke siswa, tanpa pendampingan orang tua dan tanpa sosialisasi ulang.
”Kalau itu kasuistis. Seharusnya sekolah memberi edukasi ke wali murid. Tapi bisa jadi itu hanya sebagian kecil kasus,” ujarnya.
Saat ditanya soal dasar hukum praktik tersebut, Nunggal justru mengarahkan awak media ke Kabag Hukum Sekda Lamongan, M Rois, dan menegaskan semua sudah sesuai regulasi.
”Intinya apa yang dilakukan oleh Kasek SMP Negeri 3 Lamongan itu sesuai regulasi,” kata Nunggal Kasi Pendidikan SMP Dinas Pendidikan Lamongan (Disdik Lamongan). (*)